Rangkuman Materi PAI Kelas 11 Bab 9 Kurikulum Merdeka
Kherysuryawan.id – Rangkuman/Ringkasan materi pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas 11 Semester 2 Kurikulum Merdeka Bab 9 “ Ketentuan Pernikahan dalam Islam”.
Halo sahabat kherysuryawan yang berbahagia, selamat
berjumpa kembali di website pendidikan ini. Pada postingan kali ini admin akan
membahas tentang materi yang ada pada mata pelajaran PAI di kelas 11 khususnya
pada Bab 9 yang berjudul “ Ketentuan Pernikahan dalam Islam” yang akan di
pelajari di semester 2 kurikulum merdeka.
Disini admin telah menyiapkan ringkasan materinya secara
lengkap, yang mana seluruh materi ini di ambil dan bersumber dari buku siswa
PAI kelas 11 Bab 9 kurikulum merdeka. Sebagai informasi bahwa pada materi PAI
kelas 11 Bab 9 ada 10 materi inti yang akan di pelajari nantinya, diantaranya
yaitu sebagai berikut :
1. Pengertian
Pernikahan
2. Dalil Naqli
tentang Pernikahan
3. Tujuan
Pernikahan
4. Hukum
Pernikahan
5. Memilih
Pasangan dalam Pernikahan
6. Ketentuan
Pernikahan
7. Talak dan Iddah
8. Rujuk
9. Pernikahan
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
10. Hikmah
Pernikahan dalam Islam
Baiklah bagi sahabat pendidikan yang ingin melihat
ringkasan/rangkuman materi PAI kelas 11 Bab 9 semester 2 kurikulum merdeka,
maka di bawah ini sajiannya :
RANGKUMAN PAI KELAS 11 BAB 9 KURIKULUM MERDEKA
1. Pengertian Pernikahan
Imam Ahmad bin Umar Asy-Syatiri dalam Kitab al-Yaqut
al-Nafis (2011: 215) mendefinisikan nikah secara bahasa berarti menggabungkan
dan berkumpul. Sedangkan menurut istilah syariat, nikah ialah suatu akad yang
menjadikan bolehnya seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami
dan istri.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menjelaskan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan kata lain pernikahan adalah ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah
tangga melalui akad yang dilakukan menurut aturan hukum syariat Islam yang
mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban di antara masing-masing pihak.
2. Dalil Naqli tentang Pernikahan
Adapun dalil naqli tentang pernikahan dalam Q.S. al-Rūm/30:
21
Artinya: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. al-Rūm/30:
21).
3. Tujuan Pernikahan
Tujuan menikah yang baik ialah sebagai berikut:
1) Untuk
memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketenteraman dan kebahagiaan
adalah idaman setiap orang. Menikah merupakan salah satu cara supaya hidup
menjadi bahagia dan tenteram.
2) Untuk
membina rasa cinta dan kasih sayang. Menikah merupakan salah satu cara untuk
membina kasih sayang antara suami, istri dan anak.
3) Untuk
memenuhi kebutuhan biologis yang sah dan diridhai Allah Swt.
4) Melaksanakan
perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya.
5) Untuk
memperoleh keturunan yang sah.
4. Hukum Pernikahan
Hukum asal melaksanakan pernikahan adalah mubah (boleh).
Hukum ini dapat berubah disebabkan pada keadaan tertentu. Berikut penjelasan
ringkas terkait hukum menikah:
1) Sunah.
Hukum sunah menikah ditujukan untuk orang yang sudah mampu dari segi lahir dan
batin untuk menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang
menjurus kepada perzinaan.
2) Wajib.
Hukum wajib menikah ditujukan untuk orang yang telah mampu menikah. Mampu dari
segi lahir maupun batin. Sedangkan apabila seseorang tersebut tidak menikah, ia
khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3) Mubah,
artinya dibolehkan. Seseorang dihukumi mubah untuk menikah apabila
faktor-faktor yang mengharuskan maupun menghalangi terlaksananya pernikahan
tidak ada pada diri seseorang tersebut.
4) Makruh.
Hukum menikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan pernikahan telah
memiliki keinginan atau hasrat tetapi ia hanya memiliki bekal untuk biaya
pernikahan namun belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah.
5) Haram,
hukum menikah menjadi haram bagi orang yang akan melakukan pernikahan tetapi ia
mempunyai niat yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk
lainnya. Hukum menikah juga haram apabila seseorang yang hendak menikah namun
tidak memiliki biaya untuk melaksanakan perkawinan dan dipastikan tidak mampu
memberi nafkah dan hak-hak istri serta keluarganya.
5. Memilih Pasangan dalam Pernikahan
Nabi Muhammad Saw. memberikan tuntunan dalam memilih
pasangan dalam pernikahan, yaitu dengan mempertimbangkan karena:
1) Hartanya;
2) Keturunannya;
3) Kecantikan/ketampanannya;
4) Agamanya.
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw. yang
termaktub dalam Kitab al-Jami’ al-Shahih, juz 3 nomor 5090, yaitu:
Artinya: Dari Abu
Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat
hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena
agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung. (HR.
Al-Bukhāri)
Dari hadis tersebut memberikan bimbingan dalam memilih
pasangan mempertimbangkan empat hal. Hanya saja, di akhir hadis tersebut
disebutkan “Pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” Ini adalah
tuntunan Nabi Muhammad Saw. agar dari keempat pertimbangan tersebut agar
memilih karena agamanya. Mengapa memilih agama? Karena dengan agama,
kebahagiaan yang sejati akan dapat terwujud, salah satunya ketika agamanya
kuat, maka pasangan suami atau istri akan taat kepada Allah dan dapat
memelihara dirinya.
6. Ketentuan Pernikahan
a. Rukun
Pernikahan dan Syarat Pernikahan
Rukun ialah hal yang harus ada ketika pelaksanaan suatu
perbuatan. Sedangkan syarat dalam fikih merupakan hal yang harus terpenuhi
sebelum melakukan suatu perbuatan tertentu. Rukun menikah ada lima, yaitu:
calon suami, calon Istri, wali, dua orang saksi, dan sighat (Ijab dan Qabul).
Adapun masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut.
1) Calon Suami. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi
untuk seorang calon suami, yaitu:
a) Calon
suami benar-benar laki-laki;
b) Calon
suami bukanlah orang yang haram dinikahi bagi calon istri, baik haram karena
nasab, sepersusuan, atau karena ikatan pernikahan;
c) Tidak
terpaksa. Tidak sah menikah tanpa ada kehendak sendiri;
d) Calon
suami diketahui jelas identitasnya. Sudah diketahui nama beserta orangnya;
e) Tidak
sedang melakukan ihram.
2) Calon Istri. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi
untuk calon istri, yaitu:
a) Benar-benar
perempuan;
b) Bukan
wanita yang haram dinikahi, baik karena nasab, sepersusuan, atau karena ikatan
pernikahan;
c) Jelas
identitasnya, sudah diketahui nama serta yang mana orangnya oleh calon suami;
d) Tidak
sedang melakukan ihram, atau dalam masa ‘iddah.
3) Wali, syarat menjadi wali pernikahan ialah sebagai
berikut:
a) Islam
b) Baligh
(sudah dewasa), tidak sah anak kecil menjadi wali nikah;
c) Berakal
sehat;
d) Merdeka,
bukan seorang budak;
e) Laki-laki,
tidak sah wali dari perempuan;
f)
Adil, bukan orang fasiq;
g) Urutan
wali adalah Bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak,
saudara laki-laki seibu, anak laki-laki dari saudara seayah, anak laki-laki
dari saudara kandung, anak laki-laki dari saudara seibu, paman, anak laki-laki
paman;
h) Bagi
perempuan yang tidak memiliki wali, misalnya wali sudah meninggal, maka walinya
adalah pemimpin di daerah tersebut, jika di Indonesia adalah dari pegawai
Kantor Urusan Agama (KUA).
4) Dua orang saksi
Syarat dua orang saksi ini juga hampir sama dengan wali,
yakni:
a) Islam
b) Baligh
(sudah dewasa), tidak sah anak kecil menjadi saksi nikah;
c) Berakal
sehat;
d) Merdeka,
bukan seorang budak;
e) Laki-laki,
tidak sah saksi dari perempuan.
f)
Adil, bukan orang fasiq.
5) Sighat (Ijab dan Qabul)
Syarat dari ijab-qabul dalam pernikahan adalah:
a) Ijab-qabul
dilaksanakan dalam keadaan bersambung. Artinya: antara pelafalan ijab dengan
qabul (penerimaan) tidak berselang lama.
b) Tidak
ditambahi dengan keterangan jangka waktu tertentu. Misalnya saya terima nikah
si fulanah dalam waktu sebulan.
c) Lafadz
jelas maksudnya, dan tidak disangkutkan dengan makna yang lain. Misalnya saya
nikahkan engkau dengan anakku jika engkau tetap menjadi pengusaha.
d) Ijab
dan qabul menggunakan kalimat “nikah, tazwij, atau turunannya yang semakna.”
e) Boleh
menggunakan bahasa selain bahasa Arab
b. Orang-orang
yang tidak boleh dinikahi
Adapun orang-orang yang tidak boleh dinikahi dapat
dilihat dalam tabel berikut ini.
c. Pernikahan yang
tidak sah
Di antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh
Rasulullah Saw. adalah sebagai berikut.
1) Pernikahan
Mut`ah, yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu, baik
sebentar ataupun lama. Imam Madzhab empat sepakat bahwa pernikahan ini haram
dilakukan.
2) Pernikahan
syighar, yaitu pernikahan dengan persyaratan barter tanpa pemberian mahar.
Dasarnya adalah hadis nomor 1415 yang disebutkan dalam Kitab Shahih Muslim
3) Pernikahan
muhallil, yaitu seseorang menikahi wanita yang telah dicerai tiga kali oleh
suaminya untuk diceraikan lagi agar halal dinikahi kembali oleh suaminya yang
pertama, dan ini dilakukan atas perintah suami pertama tersebut.
4) Pernikahan
orang yang sedang ihram, baik ihram Haji atau Umrah serta belum memasuki waktu
tahallul.
5) Pernikahan
dalam masa iddah, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang masih dalam masa iddah, baik karena bercerai atau suami meninggal dunia.
6) Pernikahan
tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang
wanita tanpa dihadiri walinya.
7) Pernikahan
dengan wanita musyrik (menyekutukan Allah).
8) Menikahi
mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram karena pernikahan atau karena
sepersusuan.
d. Hak dan
Kewajiban Suami Istri
Untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa
rahmah, suami dan istri harus saling memahami hak dan kewajiban sebagai suami
istri.
Adapun kewajiban suami kepada istri, yaitu:
1) Memberi
tempat tinggal yang layak kepada istri sesuai dengan kemampuan (lihat Q.S.
al-Thalaq/65: 6);
2) Memberi
nafkah istri menurut kemampuan suami (lihat Q.S. al T halaq/65: 7);
3) Berinteraksi
dengan istri secara ma’ruf (baik), yaitu dengan cara yang baik dan penuh kasih
sayang, saling menghargai, dan memahami kondisi istri;
4) Menjadi
pemimpin keluarga, dengan cara membimbing, mengarahkan, mendidik, memelihara
seluruh anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab; (Lihat Q.S. al-Nisā’/4:
34);
5) Membantu
istri dalam melaksanakan tugas sehari-hari, terutama dalam merawat, memelihara,
dan mendidik putra putrinya agar menjadi anak yang shaleh dan shalehah. (Lihat
Q.S. al-Tahrīm/66:6).
Sedangkan kewajiban istri kepada suami adalah:
1. Patuh
dan taat kepada suami sesuai dengan ajaran agama Islam. Apabila suami
memerintahkan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka
istri tidak wajib ditaati;
2. Memelihara
dan menjaga kehormatan diri sebagai seorang istri dan keluarga serta harta
benda suami, baik suami berada di rumah atau di luar rumah;
3. Mengelola
rumah tangga dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsi sebagai seorang istri;
4. Memelihara,
merawat, dan mendidik anak terutama pendidikan agama. Allah Swt., berfirman
yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka.” (Q.S. At-Tahrīm/66: 6).
e. Mahar
(Maskawin)
Mahar atau maskawin terkadang disebut nihlah atau shadaq,
yang berarti sesuatu yang diwajibkan karena pernikahan, yakni harta atau apapun
yang diberikan oleh laki-laki dan menjadi hak milik perempuan/istri. Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hashni dalam Kifayah al-Akhyar fi Hilli
Ghayah al-Ikhtishar menjelaskan bahwa walaupun menyebutkan mahar dalam akad
nikah sunnah hukumnya, tetapi wajib diberikan oleh laki-laki dalam sebuah
pernikahan.
f. Resepsi
Pernikahan (walimatul ‘urs)
Walimatul ‘urs atau sering disebut dengan resepsi
pernikahan. Kata Walimah secara bahasa berarti berkumpul. Sedangkan menurut
istilah syari’ah yang dijelaskan Ahmad bin ‘Umar al-Syathiri dalam kitab
al-Yaqut al-Nafis adalah nama untuk setiap undangan atau makananan dan minuman
yang diadakan karena adanya kebahagiaan atau lainnya. Hukum mengadakan walimah
menurut Mushthafa Dib al-Bugha’ dalam kitab al-Tadzhib fi Adillah Matn
al-Ghayah wa al-Taqrib adalah sunnah, dan wajib hukumnya memenuhi undangan
walimah tersebut, kecuali jika ada ‘udzur/halangan.
7. Talak dan Iddah
a. Talak
Talak dari segi bahasa artinya melepaskan ikatan.
Maksudnya di sini ialah melepaskan ikatan pernikahan. Hukum melakukan talak
ialah makruh.
Namun, hukum tersebut dapat berubah sesuai dengan
kemaslahatan dan kemudaratan keberlangsungan ikatan pernikahan:
1) Wajib.
Talak menjadi wajib ketika bercerai lebih baik mempertahankan pernikahan.
Artinya jika ikatan pernikahan dipertahankan namun hanya akan saling menyakiti
ataupun mendatangkan bahaya, maka hukum talak menjadi wajib;
2) Sunah.
Apabila sang suami sudah tidak sanggup memberikan kewajiban nafkah, sang istri
tidak menjaga kehormatan dirinya atau karena istri mengabaikan kewajibannya
kepada Allah Swt., contohnya istri tidak mau melaksanakan shalat atau ada
kewajiban lain yang dilanggar oleh istri;
3) Haram.
Haram menjatuhkan talak jika merugikan salah satu pihak. Talak juga haram
dijatuhkan apabila sang istri dalam keadaan haid. Selain itu, talak hukumnya
haram dilakukan ketika sang istri dalam keadaan suci sesudah dicampuri.
4) Makruh.
Makruh merupakan hukum asal dari talak. Talak dihukumi makruh, apabila tidak
disertai dengan alasan yang dibenarkan dalam ajaran agama Islam. Karena dengan
talak dapat merusak pernikahan.
b. Macam-macam
Talak
Talak, dilihat dilihat dari macamnya dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Talak
dari segi kalimat yang digunakan
2) Talak
dari segi sesuai atau tidak dengan aturan syari’at
3) Talak
dari segi boleh dan tidaknya ruju’
c. Masa ‘iddah
Iddah adalah masa menanti yang diwajibkan kepada
perempuan yang ingin menikah lagi setelah diceraikan oleh suaminya, baik cerai
hidup atau cerai mati. Diantara tujuannya untuk diketahui kandungannya berisi
atau tidak. Menurut sebagian ulama, masa ‘iddah juga bertujuan sebagai masa
perenungan dan introspeksi diri.
8. Rujuk
Kata rujuk dalam bahasa Arab disebut dengan raj’ah,
artinya kembali. Suami yang rujuk dengan istrinya, berarti ia telah kembali
pada istrinya. Sedangkan secara istilah sebagaimana dalam Kitab Mughni
al-Muhtaj, rujuk adalah mengembalikan istri yang masih dalam masa ‘iddah talak
raj’i bukan ba’in. Dengan kata lain rujuk hanya dapat dilakukan pada saat istri
dijatuhkan talak raj’i (bukan ba’in) dan selama pada masa ‘iddah.
Syarat dan Rukun
Rujuk
Syarat rujuk sama dengan waktu menikah, yaitu: baligh,
berakal, atas kehendak sendiri, dan bukan seorang yang murtad. Apabila orang
yang merujuk adalah murtad, belum baligh, dan orang yang terpaksa, maka
hukumnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Syirbini dalam Kitab Mughni
al-Muhtaj juz 3.
Sedangkan rukun rujuk sebagaimana ditulis oleh Syaikh Abi
Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Dimasyqi dalam Kitab Raudhatul Thalibin,
ada empat, yaitu:
1) Ada
perceraian/talak;
2) Orang
merujuk (suami);
3) Sighat,
yakni ucapan yang digunakan untuk rujuk, ucapan ini harus dikaitkan dengan
pernikahan, contoh: raja’tuki ila nikahi (aku mengembalikan engkau ke
pernikahanku) atau raja’tuki ila zaujati (aku mengembalikan engkau sebagai
istriku). Ucapan rujuk juga bisa memakai bahasa selain Arab;
4) Orang
yang akan dirujuk (istri).
9. Pernikahan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
Pemerintah Indonesia yang mengatur tentang Perkawinan
tertulis di Undang-Undang. No. 1 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang ini dijelaskan
bahwa tujuan Pernikahan ialah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam Undang-Undang.
No. 1 Tahun 1974 juga diterangkan bahwa pencatatan pernikahan yang sah menurut
negara hanya dapat dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) yang berada di
wilayah masing-masing.
Perincian tentang pencatatan pernikahan diatur pada
Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954. Hal ini supaya nikah, talak dan rujuk
menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum. Selain itu
perkawinan akan berdampak pada waris, sehingga perkawinan perlu dicatat agar
jangan sampai ada perselisihan.
Sedangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 merupakan
perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Di antara perubahannya adalah
perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.
10. Hikmah Pernikahan dalam Islam
Dari uraian di atas, hikmah pernikahan dalam Islam
adalah:
a) Dapat
melaksanakan perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya;
b) Terbentuknya
keluarga bahagia dan saling menyayangi;
c) Terjalinnya
hubungan yang diridhai oleh Allah Swt. Antara laki-laki dan perempuan;
d) Mendapatkan
generasi penerus yang sah;
e) Mendatangkan
pahala dan menjauhkan dari dosa besar zina;
f) Terjalinnya tali silaturahmi antarkeluarga dari
pihak suami dan istri;
g) Membukakan
pintu rezeki dari Allah Swt.
MATERI INTI :
1. Pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang dilakukan menurut aturan
hukum syariat Islam yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban di antara
masing masing pihak. Hukum pernikahan dapat berubah disebabkan pada keadaan
tertentu mulai dari wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram;
2. Pertimbangan
dalam memilih pasangan adalah kecantikan atau ketampanan, kekayaan,
nasab/keturunan dan agama. Dari keempat hal tersebut agama menjadi pertimbangan
utama;
3. Rukun
pernikahan ada 5, yaitu: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi
laki-laki, dan ijab-qabul (akad);
4. Golongan
perempuan yang haram dinikah ada yang disebabkan karena ikatan nasab, saudara
sepersusuan, ikatan pernikahan, dan haram untuk dinikahi bersamaan keduanya;
5. Jenis
pernikahan yang dilarang oleh Rasul di antaranya mut’ah, syighar, muhallil,
menikahi orang yang sedang berihram, menikahi wanita yang masih dalam masa
iddah, menikah tanpa wali, menikah dengan nonmuslim dan menikahi wanita yang
masih memiliki ikatan mahram;
6. Kewajiban
suami di antaranya memberikan nafkah dan bergaul dengan istri dengan cara yang
baik. Kewajiban istri ialah taat dan patuh terhadap suami, mendidik anak dan
menjaga kehormatan serta nama baik suami.
Demikianlah sajian ringkasan/rangkuman materi pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) kelas 11 Bab 9 dengan judul “ Ketentuan Pernikahan
dalam Islam”. Semoga ringkasan materi ini dapat membantu sahabat pendidikan
yang ingin mengetahui isi dari materi PAI kelas 11 Bab 9 kurikulum merdeka.
Sekian dan semoga Bermanfaat.