Rangkuman Materi PAI Kelas 10 Bab 10 Kurikulum Merdeka
Kherysuryawan.id – Rangkuman/Ringkasan Materi Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas 10 Semester 2 Kurikulum Merdeka Bab 10 “ Peran Tokoh Ulama dalam Penyebaran Islam di Indonesia (Metode Dakwah Islam oleh Wali Songo di Tanah Jawa)”.
Halo sahabat kherysuryawan yang berbahagia, selamat
berjumpa kembali di website pendidikan ini. Pada postingan kali ini admin akan
membahas tentang materi yang ada pada mata pelajaran PAI di Kelas 10 khususnya
pada Bab 10 yang berjudul “ Peran Tokoh Ulama dalam Penyebaran Islam di
Indonesia (Metode Dakwah Islam oleh Wali
Songo di Tanah Jawa)” yang akan di pelajari pada pembelaajran semester 2 di kurikulum
merdeka.
Disini admin telah menyiapkan ringkasan materinya secara
lengkap, yang mana seluruh materi ini di ambil dan bersumber dari buku siswa
PAI Kelas 10 kurikulum merdeka. Sebagai informasi bahwa pada materi PAI Kelas
10 Bab 10 ada 5 materi inti yang akan di pelajari nantinya, diantaranya yaitu
sebagai berikut :
1. Dakwah Islam
Periode Pra Wali Songo
2. Sejarah Dakwah
Islam Masa Wali Songo
3. Metode Dakwah
Wali Songo
4. Wali Songo dan
Pembentukan Masyarakat Islam di Nusantara
5. Hikmah dan Pesan
Damai dari Dakwah Wali Songo di Tanah Jawa
Baiklah bagi sahabat pendidikan kherysuryawan yang ingin
melihat ringkasan/rangkuman materi PAI Kelas 10 Bab 10 semester 2 kurikulum
merdeka, maka di bawah ini sajian ringkasan materinya :
RANGKUMAN PAI KELAS 10 BAB 10 KURIKULUM MERDEKA
1. Dakwah Islam Periode Pra Wali Songo
Dalam Islam Comes to Malaysia, S.Q. Fatimi menuliskan
bahwa pada abad ke-10 Masehi telah terjadi migrasi keluarga yang berasal dari
bangsa Persia. Dan di antara migrasi keluarga-keluarga tersebut yang terbesar
adalah sebagai berikut:
1) Keluarga
Lor
Yaitu keluarga yang datang ke
Nusantara pada zaman Raja Nashirudin bin Badr yang memegang pemerintahan di
wilayah Lor, Persia pada tahun 300 H/912 M. Keluarga Lor ini tinggal di Jawa
dan mendirikan sebuah perkampungan dengan nama Loran atau Leran, yang artinya
adalah tempat tinggal orang Lor.
2) Keluarga
Jawani
Keluarga Jawani adalah
keluarga yang datang pada zaman Jawani al-Kurdi yang memerintah Iran pada kurun
waktu tahun 301 H/913 M. Keluarga ini menetap di Pasai, Sumatera Utara.
Keluarga inilah yang menyusun khat Jawi, yang artinya tulisan Jawi yang
diambilkan dai nama Jawani, Sultan Iran waktu itu.
3) Keluarga
Syiah
Yaitu keluarga yang datang ke
Nusantara pada masa pemerintahan Ruknuddaulah bin Hasan bin Buwaih ad-Dailami
pada kurun waktu 357 H/969 M. Keluarga ini tinggal di bagian tengah Sumatera
Timur, dan mendirikan perkampungan dengan nama Siak, yang kemudian berkembang
menjadi Negeri Siak.
4) Keluarga
Rumai
Adalah keluarga yang datang
dari Puak Sabankarah yang menetap di utara dan timur Sumatera. Penulis-penulis
Arab, kemudian memberikan sebutan untuk pulau Sumatera dengan nama Rumi,
al-Rumi, Lambri atau Lamuri.
2. Sejarah Dakwah Islam Masa Wali Songo
Wali Songo bagi masyarakat muslim Indonesia, memiliki
makna khusus yang berhubungan dengan keberadaan tokoh-tokoh masyhur di Jawa.
Mereka berperan penting dalam upaya dakwah dan perkembangan peradaban Islam
pada abad ke-15 dan abad ke-16 Masehi. Dalam buku Sekitar Wali Songo yang
dituliskan oleh Solichin Salam, Wali Songo berasal dari Wali dan Songo.
Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk
singkatan dari kata waliyullah, yang artinya adalah ‘orang yang mencintai dan
dicintai Allah Swt.’ Dan kata songo yang merupakan bahasa Jawa yag berarti
‘sembilan’.
Sehingga Wali Songo berarti Wali Sembilan yakni sembilan
orang terpuji yang dicintai dan mencintai Allah Swt. Sembilan wali tersebut
dipandang sebagai mubaligh Islam yang bertugas mendakwahkan Islam di
daerah-daerah yang belum memeluk Islam di pulau Jawa.
Adapun gelar Sunan berasal dari kata
suhun-kasuhun-sinuhun, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti menghormati,
menjunjung tinggi, lazimnya digunakan untuk menyebut guru suci (mursyid
thariqah). Sebutan sunan juga bermakna ‘Paduka Yang Mulia’ yang merupakam
sapaan hormat kepada raja atau tuan puteri. Sebutan Sunan ini pun masih
digunakan oleh Raja raja Mataram Islam termasuk Kerajaan Surakarta saat ini.
Begitulah, hampir sebagian besar tokoh Wali Songo ini merupakan penguasa dari
wilayah tertentu untuk urusan duniawi, sekaligus merupakan seorang guru suci.
Adapun Sembilan orang wali yang diyakini masyarakat
sebagai Wali Songo adalah sebagai berikut:
1) Sunan Gresik
2) Sunan Ampel
3) Sunan Bonang
4) Sunan Drajat
5) Sunan Kalijaga
6) Sunan Kudus
7) Sunan Muria
8) Sunan Gunung
Jati
9) Sunan Giri
3. Metode Dakwah Wali Songo
Sejarah Wali Songo, sangat berkaitan erat dengan catatan
penyebaran Islam di Jawa. Kontribusi mereka dalam membentuk masyarakat Islam di
Pulau Jawa sangat besar bagi peradaban Islam di Nusantara, yang akhirnya
beberapa abad kemudian agama Islam dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa,
baik di desa maupun di kota, dari pesisir pantai hingga pegunungan, dan ajaran
Islam benar-benar melekat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Wali Songo merupakan suatu dewan dakwah atau dewan
mubaligh. Apabila salah seorang wali tersebut bepergian atau wafat, maka akan
segera digantikan oleh wali yang lain. Era Wali Songo sekaligus merupakan
pertanda berakhirnya dominasi budaya Hindu Budha di Nusantara, yang kemudian
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol dan ikon penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Berikut ini merupakan beberapa strategi dan metode dakwah
yang penuh dengan kedamaian yang ditempuh oleh Wali Songo, yaitu:
1) Ceramah
Merupakan strategi dakwah yang
dilakukan dengan jumlah jamaah yang cukup banyak. Sampai dengan saat ini,
metode ini masih sering dipergunakan oleh para mubaligh, ustadz atau penceramah
dalam rangka syiar Islam kepada masyarakat luas.
2) Tanya
Jawab – Diskusi
Metode ini tidak saja
dilakukan dalam konteks dakwah, namun dalam penyampaian materi di dunia
pendidikan pun, masih menggunakan metode ini, karena dirasa masih efektif untuk
mengetahui kekurangan dan kelebihan pemikiran orang lain, serta efektif untuk
menginternalisasikan nilai-nilai pada seseorang yang terlibat dalam forum
diskusi dan tanya jawab tersebut.
3) Keteladanan
Wali Songo memberikan teladan
yang nyata kepada masyarakat. Seorang tokoh agama dan seorang mubaligh harus mampu
memberikan teladan, karena masyarakat akan benar-benar secara suka rela
mengikuti ajaran yang dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa mulia lahir dan
batin, dan layak dijadikan igur panutan oleh mereka
4) Pendidikan
Pesantren-pesantren, pengajian
dan juga pengajaran yang dilakukan oleh para Wali Songo merupakan lembaga yang
produktif untuk melakukan transfer of knowledge dan transfer of value kepada
para santri (murid) yang belajar di dalamnya.
5) Bi’tsah
dan Ekspansi
Beberapa Wali Songo menempuh
strategi mengirimkan utusan kepada beberapa daerah tertentu untuk melakukan
ekspansi dan perluasan syiar Islam. Contoh yang dilakukan oleh Sunan Giri yang
mengirimkan utusan sekaligus bertindak sebagai juru dakwah keluar Pulau Jawa
yaitu Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore.
6) Kesenian
Kekayaan budaya, bahasa, adat
dan kesenian daerah menjadi salah satu metode yang mengalami akulturasi dan
asimilasi dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang populer sebagai media dakwah
pada masa Wali Songo.
7) Silaturrahim
Para Wali Songo tidak jarang
melakukan kunjungan dan silaturahim kepada masyarakat. Menyisipkan pesan damai,
ajaran Islam yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, disampaikan dengan
akhlak yang baik dan penuh dengan adab dan sopan santun, sehingga membuat
masyarakat menjadi tertarik dan terpesona dengan keindahan ajaran Islam yang
dibawa oleh para wali tersebut.
4. Wali Songo dan Pembentukan Masyarakat Islam di Nusantara
1. Sunan Gresik
Maulana
Malik Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan
Gresik, merupakan tokoh yang pertama kali dipercaya sebagai penyebar ajaran
Islam di tanah Jawa. Diperkirakan Maulana Malik Ibrahim datang ke Gresik pada
kurun waktu tahun 1404 M. Maulana Malik Ibrahim adalah seorang ulama yang
berasal dari Arab.
2. Sunan Ampel
Nama asli dari Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Ia lahir
pada tahun 1401 M kemudian datang ke pulau Jawa sekitar tahun 1443 M., dan
meninggal pada tahun 1481 M. di Demak dan dimakamkan di Ampel, Surabaya. Ia
merupakan putra Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dari seorang istri yang
berasal dari Negeri Champa. Para sejarawan kesulitan untuk menentukan Negeri
Champa tersebut, namun sebagian mereka berkeyakinan bahwa Champa yang dimaksud
adalah sebutan sebuah daerah bernama Jeumpa di Aceh.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang merupakan salah satu dari Wali Songo yang
berperan dalam menyebarkan Islam di pulau Jawa, melanjutkan misi dakwah yang
disampaikan sebelumnya oleh Sunan Ampel. Nama asli Sunan Bonang adalah Raden
Makdum Ibrahim lahir sekitar abad ke-14 Masehi, kurang lebih pada tahun 1465 M
dan wafat pada tahun 1525 M dan dimakamkan di Tuban, Jawa Timur. Sunan Bonang
merupakan putra dari Sunan Ampel dengan istrinya Dewi Candrawati, puteri dari
salah satu tumenggung kerajaan Majapahit di wilayah Tuban, sehingga dapat
dikatakan bahwa Sunan Bonang merupakan keturunan dari salah seorang pembesar
kerajaan Majapahit.
4. Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah salah satu putra dari Sunan Ampel,
dan merupakan saudara dari Sunan Bonang. Nama aslinya adalah Raden Qosim atau
juga dikenal dengan nama Syarifuddin. Ia lahir pada abad ke-15 M. sekitar tahun
1470 M. dan wafat pada tahun 1522 M. dan dimakamkan di Desa Drajat, wilayah
Lamongan Jawa Timur. Sunan Drajat menghabiskan masa mudanya untuk belajar agama
Islam kepada ayahnya Sunan Ampel, di Ampel Denta, Surabaya. Seperti halnya
kakaknya, Sunan Bonang yang belajar Islam tidak hanya dari pesantren
ayahandanya, Sunan Drajat pun memperdalam agama Islam dari para ulama yang
datang bersama kapal-kapal dagang Arab. Sunan Drajat kemudian memperoleh ilmu
pengetahuan yang semakin luas dan mendalam.
Sunan Drajat memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah
bil-hikmah, dengan cara-cara yang bijak dan tidak memaksa. Dalam menyampaikan
ajarannya ia menemput empat cara yaitu:
a. Pengajian
secara langsung di langar atau musala
b. Penyelenggaraan
pendidikan di pesantren
c. Memberikan
nasihat dan fatwa untuk penyelesaian sebuah masalah
d. Melalui
kesenian tradisional yaitu melalui tembang pangkur (pangudi isine
Qur’an/mendalami makna Al-Qur’an) dengan iringan gending gamelan.
Adapun inti dari ajaran Sunan Drajat adalah Catur
Piwulang (Empat Pengajaran) yaitu:
1) Paring
teken marang wong kang kalunyon lan wuto (memberikan tongkat kepada orang yang
buta)
2) Paring
pangan marang wong kang kaliren (memberi makan kepada orang yang kelaparan)
3) Paring
sandhang marang wong kang kawudan (memberi pakaian kepada orang yang telanjang)
4) Paring
payung marang wong kang kodanan (memberikan payung kepada orang yang kehujanan)
5. Sunan Kudus
Sunan Kudus merupakan salah satu dari sembilan wali yang
menyebarkan Isalm di tanah Jawa. Nama aslinya adalah Sayyid Ja’far Shadiq
Azmatkhan. Ia diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1500 M. di daerah Jipang
Panolan, sebelah utara kota Blora, wafat tahun 1550 M. dan dimakamkan di Kudus,
Jawa Tengah. Ayahnya adalah Sunan Ngudung dan ibunya bernama Syarifah. Jika
diurutkan nasabnya, Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad Saw.
Metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus adalah
mengadopsi cara-cara yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sunan Bonang.
Penjelasan mengenai metode dakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a) Tidak
menggunakan jalan kekerasan atau radikalisme untuk mengubah masyarakat yang
masih taat dengan kepercayaan lamanya. Ia memberikan kelonggaran terhadap
tradisi yang sudah berkembang sejak lama, namun pelan-pelan ia sisipkan ajaran
Islam kedalamnya.
b) Jika
ada tradisi atau kebiasaan buruk yang berkembang di masyarakat, maka selagi hal
tersebut dapat dirubah, maka Sunan Kudus berusaha merubahnya dengan pelan-pelan
c) Mengembangkan
prinsip tutwuri handayani yaitu turut membaur dan ikut serta dalam kegiatan
masyarakat, dan sedikit demi sedikit menanamkan pengaruh lalu berkembang
menjadi prinsip tutwuri hangiseni yaitu perlahan-lahan menberikan nuansa Islam
di dalamnya
d) Tidak
melakukan perlawanan dan konfrontasi langsung terhadap tindak kekerasan.
e) Berusaha
menarik simpati masyarakat agar tertarik dengan ajaran Islam. Masyarakat Kudus
saat itu masih banyak yang menganut kepercayaan Hindu-Budha. Meski sebagian
kecil sudah ada yang menganut agama Islam,
Sunan Kudus memahami bahwa ada 8 (delapan) ajaran pada
agama Budha yang dikenal dengan Asta Sanghika Marga, yang kemudian simbol
jumlah 8 tersebut dijadikan sebagai jumlah pancuran wudlu yang ia bangun. Asta
Sanghika Marga tersebut adalah:
1) Memiliki
pengetahuan yang benar
2) Mengambil
keputusan yang benar
3) Berkata yang
benar
4) Bertindak yang
benar
5) Hidup dengan
cara yang benar
6) Bekerja dengan
benar
7) Beribadah
dengan benar
8) Menghayati
agama dengan benar
6. Sunan Giri
Nama asli dari Sunan Giri adalah Raden Paku dan memiliki
nama panggilan lain yaitu Ainul Yaqin. Ia lahir di Blambangan (sekarang
Banyuwangi) pada abad ke-15 M. sekitar tahun 1442 M., wafat pada tahun 1506 M.,
dimakamkan di Dusun Giri, Desa Giri, Gresik, Jawa Timur. Ayahnya bernama
Maulana Ishaq (saudara kandung Maulana Malik Ibrahim/ Sunan Gresik) dan ibunya
adalah seorang putri yang bernama Dewi Sekardadu.
7. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga termasuk salah seorang dari Wali Songo
yang berperan besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama aslinya adalah
Raden Said yang lahir pada sekitar tahun 1450 M. di Tuban dan wafat pada abad
ke-16 M. sekitar tahun 1580 M. Dapat dikatakan bahwa Sunan Kalijaga hidup selama
lebih dari 100 tahun. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, dan ibunya bernama Dewi
Retno Dumilah. Ayahnya merupakan seorang tumenggung di wilayah Tuban, di bawah
pemerintahan kerajaan Majapahit.
8. Sunan Muria
Sunan Muria termasuk salah satu Wali Songo yang dilahirkan
pada abad ke-15 M. dan wafat pada awal abad ke-16 M. dan dimakamkan di Gunung
Muria, Kudus, Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Raden Umar Said atau Raden
Prawoto. Ia merupakan putra dari Sunan Kalijaga dan Dewi Sarah binti Maulana
Ishak. Ia menikah dengan Dewi Sujinah yang merupakan putra Sunan Ngudung dan
menjadi adik ipar dari Sunan Kudus.
Berikut ini catatan sejarah tentang alasan mengapa Sunan
Muria lebih senang berdakwah kepada masyarakat lapisan bawah, adalah karena ia
mengikuti jejak ayahandanya Sunan Kalijaga. Dalam hal ini, para sejarawan
menggolongkan pola dakwah Wali Songo menjadi dua tipe yaitu:
1) Golongan
Abangan
Golongan ini disebut juga
aliran Tuban atau aluran. Dalam berdakwah para wali yang termasuk dalam
golongan ini menggunakan cara-cara yang moderat, lunak dan menggunakan media
kesenian dan kebudayaan serta tradisi yang sudah ada di masyarakat dan
menyisipkan dan menyesuaikannya dengan nilai nilai dan ajaran Islam.
2) Golongan
Putihan
Golongan ini juga disebut
aliran santri. Mereka berdakwah dengan menggunakan metode yang langsung
bersumber dari Al-Qur’an dan sunah, pedoman umat Islam pada umumnya. Golongan
ini lebih suka berdakwah kepada golongan ningrat dan bangsawan. Yang termasuk
dalam golongan ini adalah Sunan Giri, Sunan Ampel dan Sunan Drajat.
9. Sunan Gunung
Jati
Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari Wali Songo yang
lahir pada tahun 1450 M. dengan nama asli Syarif Hidayatullah. Ia adalah putra
dari Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, dari seorang ibu
bernama Nyai Rara Santang. Jamaluddin Akbar kakek buyut dari Syarif
Hidayatullah adalah seorang mubaligh besar dari Gujarat, India yang dikenal
dengan Syekh Maulana Akbar. Ia merupakan keturunan Rasulullah Saw. dari jalur
Husain bin Ali.
Adapun ragam metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan
Gunung Jati dalam proses Islamisasi tanah Jawa adalah sebagai berikut:
a) Metode
muidlah hasanah/nasihat-nasihat yang baik
b) Metode
al-hikmah/menggunakan cara-cara yang bijaksana
c) Metode
tadarruj/berjenjang, tingkatan belajar seorang murid (pesantren)
d) Metode
ta’awun yaitu saling tolong menolong dan berbagi ketugasan dalam menyebarkan
agama Islam di kalangan para wali
e) Metode
musyawarah untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan
perjuangan dakwah para wali
f) Pembentukan kader dai.
5. Hikmah dan Pesan Damai dari Dakwah Wali Songo di Tanah Jawa
Jauh sebelum Islam datang ke Indonesia, terlebih dahulu
telah berkembang agama dan budaya dengan corak Hindu-Budha. Bahkan sebelum
Hindu dan Budha berkembang pun, telah didahului dengan perkembangan kepercayaan
yang dianggap asli kepercayaan nenek moyang yaitu kepercayan animisme dan
dinamisme. Agama Islam datang sebagai pembaharu, yang tentu saja tidak bisa
serta merta merubah begitu saja budaya dan kepercayaan lama yang telah dipegang
teguh secara turun temurun oleh masyarakat Nusantara. Datangnya sebuah
kebudayaan baru, tidak akan mungkin langsung mempengaruhi keseluruhan
masyarakat, sehingga diperlukan proses yang bertahap dan pelan-pelan.
Metode dakwah yang dilakukan oleh para Wali Songo
benar-benar merangkul dan merengkuh semua lapisan masyarakat. Tidak ada satupun
wali yang melakukan cara-cara kekerasan dalam berdakwah sehingga proses
adaptasi, asimilasi dan akulturasi budaya tersebut dapar berjalan dengan
harmonis dan minim konflik.
Bahwa dakwah adalah untuk mengajak, bukan untuk mengejek.
Dakwah adalah untuk mengajar, bukan untuk menghajar, dakwah dilakukan untuk
membina bukan untuk menghina, dakwah dilakukan untuk mencintai bukan untuk
mencaci, dan dakwah dilakukan untuk menasehati, bukan untuk menusuk hati
golongan yang lain.
MATERI INTI :
1. Bagilah
kelas menjadi 9 (sembilan) kelompok.
2. Lakukan
literasi terhadap sub materi sejarah dakwah Islam periode Wali Songo
3. Setiap
kelompok diberi nama sesuai nama para Wali Songo secara beurutan
4. Unduh
image/foto/gambar dari para Wali Songo kemudian dicetak pada kertas sampul yang
cukup tebal. Lalu berikan kaitan untuk tali seperti tali masker di bagian yang
sejajar dengan gambar telinga, dan berikanlah tali pengikat secukupnya.
5. Pilih
salah satu anggota kelompok yang akan mengenakan masker/ topeng representasi
para Wali Songo tersebut.
6. Ciptakanlah
situasi di kelas sebagai forum musyawarah para Wali Songo.
7. Masing-masing
perwakilan kelompok yang telah mengenakan topeng wali tersebut kemudian
bertindak seolah-olah sebagai wali dan memberikan banyak ide, gagasan dan
pemikiran sesuai dengan literasi yang sudah kalian lakukan sebelumnya terhadap
materi ini.
8. Semua
anggota kelas harus menyimak dan memahami pesan-pesan moral dari aktivitas ini.
Demikianlah sajian ringkasan/rangkuman materi pelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) Kelas 10 Bab 10 dengan judul “ Peran Tokoh Ulama
dalam Penyebaran Islam di Indonesia
(Metode Dakwah Islam oleh Wali Songo di Tanah Jawa)”. Semoga ringkasan
materi ini dapat membantu sahabat pendidikan yang ingin mengetahui isi dari
materi PAI Kelas 10 Bab 10 kurikulum merdeka. Sekian dan semoga Bermanfaat.